Monday 23 February 2015

Kebijakan Makroprudensial

Kebijakan Makroprudensial
Ada perbedaan antara antara Makroprudensial dan Mikroprudensial, yaitu: 1) Makroprudensial mencakup: kebijakan moneter, stabilitas sistem keuangan dan pengaturan dan pengawasan SIBs, sedangkan 2) Mikroprudensial mencakup: Pengaturan dan pengawasan SIBs dan Pengaturan dan pengawasan non-SIBs (Bank Indonesia (BI), 2014). Mungkin kita bertanya, apa sih Kebijakan Makroprudensial itu? Banyak versi yang memberikan pengertian tentangKebijakan Makroprudensial. Menurut International Monetary Fund (IMF) menyatakan, bahwa Kebijakan Makroprudensial adalah kebijakan yang memiliki tujuan utama untuk memelihara stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan peningkatan risiko sistemik (IMF, “Macroprudential Policy: An Organizing Framework”, 2011). Sama halnya dengan pendapat yang dinyatakan oleh versi Bank of England, bahwa Kebijakan Makroprudensial adalah kebijakan yang ditujukan untuk memelihara kestabilan intermediasi keuangan (misalnya jasa-jasa pembayaran, intermediasi kredit dan penjaminan atas risiko) terhadap perekonomian (Bank of England, “The Role of Macroprudential Policy”, 2009).
Berbeda dengan versi Working Group G-30 yang menyatakan bahwaKebijakan Makroprudensial adalah kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan ketahanan sistem keuangan dan untuk memitigasi risiko sistemik yang timbul akibat keterkaitan antar institusi dan kecenderungan institusi keuangan untuk mengikuti siklus ekonomi (procyclical) sehingga memperbesar risiko sistemik (WG G30,“Enhancing Financial Stability and Resilience: Macroprudential Policy, Tools, and Systems for the Future”, 2010). Lain halnya dengan Borio (2009) dalam Iskandar Simorangkir (2014) yang mendefinisikan pendekatan makroprudensial berdasarkan tujuannya adalah untuk membatasi resiko pada sistem keuanganguna mengurangi potensi menyebarnya dampak negatif (cost) pada perekonomian. Atau Kebijakan Makroprudensial bertujuan untuk membatasi risiko individual institusi keuangan tanpa memperhatikan dampaknya pada makro ekonomi.
Kebijakan Makroprudensial digunakan sebaik mungkin untuk memperbaiki keadaan ekonomi, dalam hal ini menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK), yaitu: 1)Penyaluran kredit perbankan ke sektor yang tepat dan mendatangkan profit yang menjanjikan bagi perbankan; 2) Kebijakan tersebut memerhatikan faktor politik, hukum, dan sosial yang ikut dipengaruhi oleh sektor kebijakan ekonomi melalui naik atau turunnya suku SBI; 3) Berorientasi kepada stabilitas keuangan yang merata di sektor pemerintah, perbankan, dan masyarakat pengguna jasa keuangan; 4) adanyarule yang dikomunikasikan dalam awal penerapan. Namun, tetap membuka ruang untuk melakukan diskresi apabila terjadi shock dalam perekonomian; 5) dimensitime-series, yaitu kebijakan makroprudensial ditujukan untuk menekan risiko terjadinya prosiklikalitas yang berlebihan dalam sistem keuangan; dan 6) Bersifat countercyclical yang akan bersinergi dengan tujuan kebijakan moneter dalam mengurangi fluktuasi perekonomian. Kebijakan makroprudensial untuk memperketat persyaratan modal dan likuiditas di saat perekonomian sedang melaju kencang (periode up swing) akan mendorong bank untuk mengurangi pertumbuhan kredit sehingga menjaga daya tahan bank ke depan di saat perekonomian memburuk (Dwi Wulan Ramadani, & Dedi Rahman, 2013). Kebijakan Makroprudensial yang berfungsi untuk mengurangi risiko sistemik keuangan pun telah dilakukan oleh beberapa negara yang dipengaruhi oleh beberapa instrumen, seperti yang terlihat di bagan berikut.

14129298971723336861

Bagaimana dengan implementasi Kebijakan Makroprudensial? Menurut Bank Indonesia (BI) (2014), menyatakan bahwa implementasi Kebijakan Makroprudensial dilakukan dengan:
1. Loan To Value Ratio (LTV) untuk KPR dan Down Payment (DP) KKB.
a. SE BI No. 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 untuk Bank Umum konvensional dan SE No. 14/33/DPbS tanggal 27 November 2012 untuk bank umum syariah. Kalibrasi ulang dengan SE BI No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013.
b. Tujuan: meredam resiko sistemik yang mungkin timbul akibat pertumbuhan KPR yang pada saat itu mencapi lebih dari 40%, serta tingkat kegagalan nasabah KKB untuk memenuhi kewajiban yang pada saat itu mencapai hamper 10%.
c. Pertumbuhan KPR yang terlalu tinggi dapat mendorong peningkatan harga asset property yang tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble), sehingga dapat meningkatkan risiko kredit bagi bank-bank dengan eksposur kredit properti yang benar.
d. Pokok ketentuan: LTV progresif untuk KPR dan 20%-30% untuk KKB.
1412929949683111188
2. Giro Wajib Minimum (GWM) berdasarkan Loan to Deposits Ratio (LDR)
a. PBI No. 12/19/PBI/2010 tanggal 4 Oktober 2010 dirubah dengan PBI No. 15/7/PBI/2013 tanggal 26 September 2013, dan SE BI No. 15/41/DKMP tanggal 1 Oktober 2013.
b. Tujuan: meningkatkan ketahann sektor perbankan dalam menghadapi berbagai resiko, khususnya terkait dengan resiko kredit dan likuiditas. Sehingga dapat mendukung stabilitas system keuangan sekaligus stabilitas moneter melalui penguatan peran intermediasi bank.
c. Pokok ketentuan:
1) Bank wajib memelihara tambahan GWM rupiah (selain GWM primer dan GWM sekunder yang besarnya ditentukan berdasarkan persentase tertentu dari total DPK rupiah bank) yang nilainya ditentukan berdasarkan angka LDR bank.
2) Apabila angka LDR bank berada dalam kisaran LDR target, yakni 78%-92% (sebelumnya 100%) maka besarnya (tambahan) GWM LDR bank adalah 0%.
3) Apabila LDR bank < 78% maka besarnya (tambahan) GWM LDR bank adalah GWM LDR= (78% - LDR bank) x 0,1% (parameter disinsentif bawah).
4) Apabila LDR bank > 92% maka besarnya (tambahan) GWM LDR bank adalah GWM LDR= (LDR bank – 92%) x 0,2% (parameter disinsentif atas), kecuali dengan CAR > 14%, maka GWM LDR bank adalah 0%.
Kebijakan GWM LDR (SE ekstern No. 15/41/DKMP tanggal 1 Oktober 2013):
a. Kewajiban GWM Sekunder yang saat ini sebesar 2,5% akan dinaikkan:
b. Penyesuaian dilakukan terhadap batas atas GWM LDR yang diturunkan dari 100% menjadi 92%, sementara batas bawah tetap sebesar 78%.
c. Bank diharapkan dapat menjaga LDR mereka pada kisaran 78% - 92%. Disinsentif batas atas dikenakan kepada bank-bank yang memiliki LDR di atas 92% dengan KPMM (Kewajiban Penyediaan Modal Minimum) atau CAR kuarang dari 14% . Sementara disinsentif batas bawah dikenakan kepada bank-bank dengan LDR kurang dari 78%. Adapun perhitungan disinsentif untuk pelanggaran terhadap batas atas atau batas bawah dilakukan dengan mekanisme perhitunagn yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
3. Transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK)
a. SE BI No. 13/5/DPNP tanggal 8 Pebruari 2011, diuabh dengan SE BI No. 15/1/DPNP tanggal 15 Januari 2013.
b. Tujuan:
1) Mitigasi resiko kredit melalui persaingan yang sehat pada industry perbankan;
2) Meningkatkan good governance dan kompetisi melalui market discipline yang lebih baik;
3) Mendorong bak untuk menciptakan formulasi suku bunga kredit yang efisien dan akurat;
4) Meningkatkan transparansi produk dan jasa perbankan, khususnya terkait dengan perhitungan keuntungan, resiko, dan biaya; dan
5) Meningkatkan perlindungan nasabah melalui mitigasi assymetric information antara nasabah dan bank.
c. Pokok ketentuan:
1) Bank wajib melaporkan kepada BI dan melakukan publikasi secara rutin atas komponen SBDK untuk masing-masing kredit korporasi, ritel, konsumsi (KPR dan Non KPR) dan kredit mikro (melalui perubahan SE tahun 2013)
2) Komponen SBDK yang wajib dilaporkan adalah harga pokok dana untuk kredit (HPDK), biaya overhead dan marjin keuntungan. Sedangkan risk premium tidak wajib dilaporkan. BankIndonesia, 2014
Agar Kebijakan Makroprudensial berjalan sesuai dengan harapan, maka diperlukan adanya pengaturan dan pengawasan. Bank Indonesia mengeluarkanPeraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial, yaitu: 1) Pengalaman krisis keuangan global menunjukkan pentingnya untuk menjaga stabilitas sistem keuangan mengingat kompleksitas dan keterkaitan dalam sistem keuangan mengakibatkan krisis yang bersumber dari dalam sektor keuangan tidak hanya berdampak negatif di sektor keuangan, tetapi juga meluas sehingga mempengaruhi kinerja makroekonomi dan menimbulkan biaya pemulihan ekonomi yang tinggi; 2) Dalam rangka mendukung terpeliharanya stabilitas sistem keuangan maka diperlukan upaya-upaya untuk membatasi dan mencegah risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, serta meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan melalui kegiatan pengaturan dan pengawasan makroprudensial; dan 3) Untuk melaksanakan kegiatan pengaturan dan pengawasan makroprudensial, Bank Indonesia perlu menetapkan kerangka kebijakan pengaturan dan pengawasan makroprudensial dalam PBI (www.bi.go.id).
Adapun, pokok-pokok ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) mengenai pengaturan dan pengawasan makroprudensial, mencakup: 1) Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan makroprudensial (dalam rangka: a. mencegah dan mengurangi risiko sistemik; b. mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas; dan c. meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan); 2) Pengaturan makroprudensial dilakukan dengan menggunakan instrumen pengaturan (antara lain untuk: a. memperkuat ketahanan permodalan dan mencegah leverage yang berlebihan; b. mengelola fungsi intermediasi dan mengendalikan risiko kredit, risiko likuiditas, risiko nilai tukar, dan risiko suku bunga, serta risiko lainnya yang berpotensi menjadi risiko sistemik; c. membatasi konsentrasi eksposur (exposure concentration); d. memperkuat ketahanan infrastruktur keuangan; dan/atau d. meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan); 3) Pengawasan makroprudensial (dilakukan melalui: a. surveilans sistem keuangan dalam rangka melakukan penilaian terhadap risiko sistemik; dan b. pemeriksaan dalam rangka meyakini risiko sistemik yang bersumber dari kegiatan usaha bank terhadap : (1) systemically important banksdan/atau bank lainnya yang memiliki common exposure yang berpotensi memberikan dampak sistemik; dan (2) perusahaan induk, perusahaan afiliasi, dan perusahaan anak dari bank jika dinilai memberikan eksposur risiko yang signifikan terhadap bank atau berdampak sistemik); dan 4) Terdapat kewajiban bank (antara lain untuk: a. mematuhi ketentuan Bank Indonesia di bidang makroprudensial; b. menyediakan dan menyampaikan data dan informasi yang diperlukan dalam kegiatan surveilans Bank Indonesia; c. memberikan dokumen dan/atau data, keterangan dan penjelasan secara lisan maupun tulisan, akses terhadap sistem informasi bank, dan hal lainnya yang diperlukan dalam kegiatan pemeriksaan Bank Indonesia; dan d. melaksanakan tindak lanjut atas hasil pengawasan makroprudensial yang dilakukan oleh Bank Indonesia (www.bi.go.id).
Menurut Bank Indonesia (BI) (2014, mengungkapkan bahwa kewenangan Bank Indonesia terkait dengan pengaturan dan pengawasan Makroprudensial tercantum dalam:
1. Penjelasan pasal 7 UU OJK, “Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan microprudential yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasanmacroprudential, yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam pasal ini, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia. Dalam rangkapengaturan dan pengawasan macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan himbuan moral (moral suasion) kepada perbankan.
2. Pasal 40 dan penjelasan pasal 40 UU OJK. 1) Pasal 40: (1) Dalam hal BI untuk melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, BI dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan tertulis terkebih dahulu kepada OJK, (2) Dalam melakukan kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BI tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank. 2) Penjelasan pasal 40: (1) Pada dasarnya wewenang pemeriksaan terhadap bank adalah wewenang OJK. Namun, dalam hal BI melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya membutuhkan informasi melalui kegiatan pemeriksaan bank, BI dapat melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap bank tertentu yang masuk systemically important bank dan/atau bank lainnya sesuai dengan kewenangan BI di bidang macroprudential.
Bukan hanya mengenai pengaturan dan pengawasan, Bank Indonesia (BI) pada tahun 2014 juga telah menerbitkan tiga (3) kebijakan makroprudensia, berupa: 1) pemberian kredit loan to value; 2) giro wajib minimum dikaitkan fungsi intermediasi; serta 3) Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) (Telisa Aulia Falianty, 2014). Di luar itu, sesuai berjalannya reformasi yang lebih baik, lebih transparan, dan intermediasi keuangan yang lebih efisien dalam rangka pengembangan kerangka regulasi dan pengawasan sektor jasa keuangan melalui pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang komprehensif dan terintegrasi berdasarkan UU No. 21 tahun 2011. Bersamaan dengan pembentukan OJK, Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Jaring pengaman Sektor Keuangan-JPSK) bersama-sama dengan DPR untuk secara signifikan meningkatkan stabilitas sistem keuangan (www.depkeu.go.id).
Apalagi, Pemerintah melalui Bank Indonesia dan Indonesia Deposit Insurance Corporation (OJK) telah membentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan(FKSSK) sesuai apa yang diamanatkan oleh UU OJK agar memiliki tanggung jawab untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Hal ini dikarenakan, bahwa dalam penanganan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) memerlukan koordinasi yang efektif antara Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pemerintah juga membentukForum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) pada bulan Juni 2007 oleh Bank Indonesia (BI), Departemen Keuangan (Depkeu) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) disebut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai penyelamat negara dalam krisis global tahun 2008 seperti apa yang diungkapkan dalam Pidato Kenegaraan di Gedung DPR, Jumat (16/8/2013).
“Kita beruntung Forum Stabilisasi Sektor Keuangan yang awalnya dibentuk antara pemerintah, Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan ketika krisis subprime mortgage mampu menyelamatkan Indonesia” (Ilyas Istianur Praditya, 2013).
Presiden juga menambahkan, bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi satu lembaga yang mengambil alih beberapa peran Bank Indonesia dalam mengelola lembaga keuangan non bank. Lembaga tersebut diharapkan akan membantu Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sesuai amanat UU OJK, pembentukan FKSSK pun pernah dibahas dalam seminar internasional yang diadakan di Westin Hotel, Nusa Dua-Bali pada tanggal 6-7 Desember 2013 yang bertemakan “Financial Stability Through Effective Crisis Management And Inter-Agency Coordination Held By Coordination Forum Of Finacial System Stability” (www.depkeu.go.id). Selanjutnya, pembentukan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) berfungsi mengevaluasi secara reguler atas Stabilitas Sistem Keuangan (SSK), termasuk menetapkan kondisi dalam krisis serta mengambil kebijakan dalam rangka pencegahan dan menangani krisis. Tiap-tiap institusi mengemukakan kondisi terkini yang menjadi wewenangnya termasuk rekomendasi kebijakan terkait pencegahan dan penangangan krisis (Telisa Aulia Falianty, 2014). Untuk memperkuat Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) melalui Kebijakan Makroprudensial, disadari betul oleh pemerintah yang beberapa tahun belakangan juga telah membentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari 3 lembaga yang bersentuhan langsung dengan bidang moneter, yaitu: Kementerian Keuangan, Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan LPS (Rishan Adha, 2011).
Menurut www.bi.go.id, FSSK mempunyai empat (4) fungsi pokok, yaitu: 1) Menunjang pelaksanaan tugas Komite Koordinasi dalam proses pengambilan keputusan terhadap Bank Bermasalah yang ditengarai sistemik; 2) Melakukan koordinasi dan tukar menukar informasi untuk sinkronisasi peraturan perundang-undangan dan ketentuan di bidang perbankan, lembaga keuangan non bank, dan pasar modal; 3) Membahas berbagai permasalahan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga yang berkecimpung dalam sistem keuangan yang berpotensi sistemik berdasarkan informasi dari otoritas pengawas lembaga keuangan; dan 4) Mengkoordinasikan pelaksanaan atau persiapan inisiatif tertentu di sektor keuangan. Di sisi lain, FKSSK bisa mengusulkan rekomendasi kepada setiap anggota untuk melakukan tindakan dan/atau membuat kebijakan untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK), serta menentukan dan melaksanakan kebijakan dalam rangka mencegah dan mengurangi krisis. Sebagai tambahan, menurut Dnaberita.com (2014) melansir informasi bahwa Koordinasi tersebut akan terus ditingkatkan dalam rangka menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) seperti apa yang disampaikan oleh Agus D.W. Martowardojo saat masih menjabat Menteri Keuangan ketika menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
“Namun fungsi yang selama ini dijalankan oleh BI, dan kini akan dipisah menjadi disiplin pengawasan makro prudential, begitu pula dengan mikro prudential (yang akan dijalankan) oleh OJK, tidak mungkin dibagi secara penuh. Tetap ada koordinasi tingkat tinggi yang harus dijalankan sehingga stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, dan ini adalah periode penting yang perlu kita kawal bersama, agar berjalan dengan lancar” ucapnya” (Dnaberita.com, 2014).
Kebijakan Makroprudensial yang menjadi wewenang dari Bank Indonesia harus bekerja sama dengan OJK yang menangani masalah kebijakan mikroprudensial dalam mencipakan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Unuk lebih jelasnya dapat digambarkan dalam gambar berikut.
14129300101051224891
Kita juga memahami bahwa Kebijakan Makroprudensial sangat berperan dalam sektor kredit perbankan. Menurut laman www.bi.go.id, dari sisi intermediasi perbankan, kredit kepada sektor swasta tumbuh melambat menjadi 15,39% (yoy) dari bulan sebelumnya sebesar 17,2% (yoy) sejalan dengan perlambatan perekonomian. Adapun risiko kredit perbankan masih dalam batas aman. Indikator kredit bermasalah (NPL) berada pada level 2,24%, jauh dibawah batas aman 5%. Tetapi, Bank Indonesia mencermati betul mengenai tingginya NPL pada 4 sektor, yakni: 1) sektor konstruksi; 2) pertambangan; 3) perdagangan; dan 4) jasa sosial. Prestasi Kebijakan Makroprudensial di sektor kredit adalah pada bulan Juli 2014, NPL sektor konstruksi tercatat sebesar 4,43% atau naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 4,24%. Pada sektor pertambangan, NPL tercatat sebesar 3,09% dibandingkan bulan sebelumnya 2,49%.
Di sisi lain, menurut laman Enciety.co (2014) melansir berita bahwa Bank Indonesia juga mengungkapkan bahwa jumlah kredit perbankan nasional yang disalurkan ke sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) mencapai Rp 608,8 triliun hingga akhir Desember 2013. Sebagian besar kredit UMKM disalurkan kepada usaha menengah yang mencapai 19,4 persen. Pertumbuhan kredit UMKM pada bulan Desember 2013 adalah sebesar 15,7 persen (yoy), meningkat dari pertumbuhan tahun lalu yakni sebesar 14,9 persen di 2013. Untuk NPL (kredit macet) UMKM pada Desember 2013 tercatat di angka 3,21 persen yang membaik dari Desember 2012 yakni 3,23 persen. Sebagai informasi, jumlah unit usaha UMKM mencapai 56,5 juta atau 99,9 persen dari total pelaku usaha. Sementara UMKM menyerap tenaga kerja sebanyak 97,2 persen dari total tenaga kerja 107,7 juta.
Sehubungan dengan Kebijakan Makroprudensial tersebut, Bank Indonesia tengah menggodok beberapa instrumen, di antaranya instrumen untuk mecegah dan mengurangi leverage berlebihan melalui penguatan tambahan permodalan guna mengantisipasi kondisi siklikal. Selanjutnya, instrumen untuk membatasi konsentrasieksposur seperti pengaturan pembatasan pemberian kredit sektor tertentu dan persayaratan Central Counter Parties (CCP). Sebagai contoh adalah pemberian kredit berlebihan di sektor yang sedang booming seperti CPO dan batu bara yang bisa menimbulkan resiko sehingga perlu diatur. Sebuah bank terlalu eksesif hanya ke sektor tertentu dikhawatirkan bila terjadi guncangan secara tiba- tiba bisa terjadi kredit macet. Kredit lainnya adalah yang berhubungan dengan properti, di manakredit rumah pertama tipe 70 meter ke atas akan dikenakan LTV maksimal 70 persen atau DP 30 persen dari harga jual. Rumah kedua 60 persen (DP 40 persen). Rumah ketiga dan seterusnya 50 persen (DP 50 persen) (Telisa Aulia Falianty, 2014).
Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam menjalankan Kebijakan Makroprudensial juga telah menerapkan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) kepada seluruh bank-bank di bawah kewenangannya. Untuk mengetahui dengan jelas tentang daftar Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK), kita bisa mencermatinya pada tabel di bawah ini.

1413003220243349317
Dalam menjalankan Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia juga berperan dalam menjaga kondisi likuiditas sektor keuangan (perbankan nasional). Dengan adanya Kebijakan Makroprudensial, kondisi likuiditas menunjukan sinyal positif. Sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Deputi Gubernur, Halim Alamsyah, pasca Rapat Dewan Gubernur September 2014 bahwa berdasarkan hasil monitoring Bank Indonesia, risiko likuiditas perbankan terjaga dan diperkirakan terus membaik hingga akhir tahun. Kondisi tersebut didukung oleh aliran masuk uang kartal pasca lebaran dan mulai ekspansifnya keuangan Pemerintah. Untuk masa depan likuiditas perbankan diperkirakan terus membaik dengan semakin tingginya belanja Pemerintah sesuai dengan polanya. Simulasi dengan menggunakan skenario pertumbuhan kredit 17%, pembalikan modal dan kenaikan harga BBM, rasio likuiditas perbankan di 2014 diperkirakan masih diatas batas aman (www.bi.go.id).
Perlu diketahuim bahwa penanganan likuiditas sangat berpengaruh dalam mengurangi instabilitas ekonomi. Bank Indonesia bergerak cepat me-mitigasi(meringankan) dampak terjadinya instabilitas tersebut terhadap ekonomi melalui instrumen yang dimilikinya untuk mengurangi tekanan likuiditas maupun mempercepat pemulihan kepercayaan masyarakat. Apa yang dilakukan Bank Indonesia terhadap masalah likuiditas? Masalah tersebut dapat diatasi dengan open market operations dan bantuan likuiditas melalui Lender-of-Last Resort (LoLR) ataudiscount window. Kebijakan lain yang dapat dilakukan Bank Indonesia adalah dengan melakukan penyesuaian reserve requirements atau dengan kebijakan suku bunga untuk mendorong ekonomi bergerak ke arah normal (Wartawan3, 2014).
Dengan berjalannya Kebijakan Makroprudensial, maka kondisi Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) mengalami perbaikan yang signifikan (Bank Indonesia, 2014). Perbaikan tersebut ditandai dengan:
1. Ketahanan permodalan: paska krisis 2008, ketahanan perbankan secara umum membaik, didukung oleh permodalan yang cenderung tumbuh meningkat. CAR perbankan juga terjaga dan membaik.

14129301991200196360
2. Likuiditas perbankan: perkembangan alat likuiditas perbankan masih pada level aman.
1412930267264555982
3. Perkembangan intermediasi (Kedit dan DPK): Pertumbuhan kredit dan DPK mengalami penurunan sejak pertengahan 2012 terkait perlambatan ekonomi.
1412930342457676737

Perbaikan kondisi Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) melalui Kebijakan Makroprudensial yang dilakukan oleh Bank Indonesia juga memberikan sinyal positif, seperti apa yang ditunjukan dalam Indeks Stabilitas Sistem Keuangan(SSK) bulan Desember 2013 di bawah ini, yang menunjukan kondisi normal.

1412930425302052609

Akhirnya, dari pembahasan secara mendalam di atas, kita bisa memahami bahwa Kebijakan Makroprudensial yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral yang mempunyai kewenangan penuh, sangat berperan penting dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Bank Indonesia bersinergi dengan institusi atau otoritas lainnya seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan LPS dalam memberikan pengaturan dan pengawasan kebijakan. Kehadiran Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang terdiri dari beberapa otoritas keuangan mampu menyelamatkan kondisi perekonomian bangsa Indonesia dalam sektor keuangan.
Kebijakan Makroprudensial pun diharapkan terus mampu menjaga inflasi yang mampu memberikan gejolak ekonomi bangsa. Meskipun pada prosesnya, Kebijakan Makroprudensial tidak bisa lepas dari Kebijakan Moneter yang ada pada Bank Indonesia juga. Apalagi bersinergi dengan Kebijakan Mikroprudensial, dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) akan semakin sehat untuk mengantisipasi berbagai gejolak ekonomi atau krisis global yang terjadi secara tidak terduga di masa yang akan datang. Kita pun berharap, agar Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) tetap memberikan rasa aman dan nyaman bagi perputaran roda perekonomian bangsa Indonesia.

No comments:

Post a Comment