Monday, 23 February 2015
Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia
Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia (BI) untuk Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK)
“Guna memitigasi risiko sistemik di sektor keuangan, Bank Indonesia (BI) terus memperkuat kebijakan makroprudensial. Kebijakan ini ditempuh dengan mengarahkan pengendalian kredit dan likuiditas agar sejalan dengan pengelolaan stabilitas makroekonomi“ (Enciety.co, 2014)
Laju perekonomian bangsa Indonesia masih dikategorikan baik, meskipun berjalan lambat. Kondisi perekonomian sangat dipengaruhi oleh berbagai sektor. Sektor yang sangat berpengaruh adalah sektor keuangan. Ancaman sektor keuangan pun pernah mendera bangsa Indonesia. Betapa kerasnya bangsa Indonesia untuk bangkit dari krisis yang terjadi pada tahun 1998 menjadi sebuah pelajaran yang berharga. Bangkit dari keterpurukan krisis keuangan tersebut membutuhkan biaya yang mahal. Bukan hanya itu, waktu untuk recovery-pun membutuhkan waktu yang lama. Dengan adanya krisis tahun 1998 memberikan bukti bahwa ketahanan di sektor keuangan merupakan aspek yang sangat penting dalam membentuk dan menjaga perekonomian yang berkelanjutan. Sistem keuangan yang tidak stabil akan mengganggu jalannya perekonomian (www.bi.go.id).
Tindakan yang dilakukan untuk mengantisipasi terulangnya krisis tahun 1998 dilakukan dengan memperkuat Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) terhadap perkembangan perbankan Indonesia. Menurut laman Financeroll.co.id (2013), Direktur Eksekutif Kebijakan MakroPrudensial Bank Indonesia mengatakan bahwa perekonomian Indonesia dipengaruhi oleh perubahan ekonomi global dengan anjloknya komoditas yang mempengaruhi nilai ekspor Indonesia. Dengan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yang akan dijalankan mulai tahun 2013, supaya krisis ekonomi, inflasi dan pengangguran tinggi seperti tahun 1998 tidak terjadi. Bank juga harus patuh mendukung industri keuangan. Apalagi menurut Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution pada tahun 2012 pernah mengungkapkan, bahwa kebijakan terhadap sistem keuangan sangat penting, karena krisis yang bisa saja datang dari dalam dan luar negeri. Namun, krisis yang datang dari dalam perlu lebih diwaspadai lantaran lebih sulit terdeteksi (Imam Sukamto, 2012).
Perlunya Stabilitas Sistem Keuangan (SSK)
Apa yang dimaksud dengan sistem keuangan? Sistem keuangan dapat diartikan sebagai kumpulan institusi, pasar, ketentuan perundangan, peraturan-peraturan, dan teknik-teknik di mana surat berharga diperdagangkan, tingkat bunga ditetapkan, dan jasa-jasa keuangan (financial services) dihasilkan serta ditawarkan ke seluruh bagian dunia. Dalam prosesnya, sistem keuangan terdiri dari otoritas keuangan, sistem perbankan, dan sistem lembaga keuangan bukan bank, pada dasarnya merupakan tatanan dalam perekonomian suatu negara yang memiliki peran utama dalam menyediakan fasilitas jasa-jasa keuangan. Fasilitas jasa keuangan tersebut diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan, termasuk pasar uang dan pasar modal. (Peter S. Rose, 2000 dalam Dwi Wulan Ramadani, & Dedi Rahman, 2013). Sistem keuangan berfungsi dalam mengalokasikan dana dari pihak yang mengalami surplus kepada pihak yang mengalami defisit. Jika, sistem keuangan tidak stabil dan tidak berfungsi secara efisien, pengalokasian dana tidak akan berjalan dengan baik sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Pengalaman menunjukkan, sistem keuangan yang tidak stabil, terlebih lagi jika mengakibatkan terjadinya krisis, memerlukan biaya yang sangat tinggi untuk upaya penyelamatannya (www.bi.go.id).
Tindakan untuk menjaga stabilitas keuangan yang dilakukan oleh bank sentral, juga dilakukan di beberapa negara, seperti Inggris, Australia, Korea dan Malaysia. Untuk menjaga stabilitas keuangan sudah termasuk dalam tugas pokok Bank Indonesia, yaitu mencapai dan memelihara stabilitas Rupiah melalui stabilitas moneter. Oleh sebab itu, fungsi untuk menjaga stabilitas moneter tidak dapat terlepas dari fungsi menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) (Info Seputar Perbankan, 2012). Hal-hal yang berhubungan dengan stabilitas keuangan akan berkaitan dengan 2 elemen penting, yaitu 1) stabilitas harga; dan 2) stabilitas sektor keuangan, yang mencakup lembaga keuangan serta pasar keuangan yang secara keseluruhan mendukung jalannya sistem keuangan. Dengan demikian, jika salah satu elemen tersebut terganggu ataupun tidak dapat berfungsi dengan baik, makaelemen lainnya akan terpengaruh. Meskipun, stabilitas keuangan bukanlah merupakan suatu target akhir, namun lebih kepada suatu persyaratan prakondisi yang penting bagi pertumbuhan perekonomian. Namun, untuk mencapai kondisi sektor keuangan yang stabil paling tidak diperlukan beberapa prasyarat berikut: 1) Lembaga Keuangan yang Sehat; 2) Pasar Keuangan yang Stabil; dan 3) Lembaga Pengaturan dan Pengawasan yang Kompeten (Dwi Wulan Ramadani & Dedi Rahman, 2013.
Menurut Bank Indonesia (BI) (2014), bahwa sistem keuangan yang mengalami gejolak di lembaga dan pasar keuangan berpengaruh terhadap perekonomian dan bisa mengeluarkan biaya besar, seperti:
1. Indonesia (1997-1998) sebesar 51% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
2. AS (September 2008 - …) ditaksir sebesar >43% dari PDB (IIF, 2008)
3. Social and political costs sangat tinggi.
Apalagi kita memahami krisis Keuangan Global/Global Financial Crisis (GFC) memberikan dampak ke luar (ekternal), seperti: 1) Meluasnya dampak krisis akibatinterconnectedness; 2) Kegagalan kebijakan makro, kegagalan pasar, kegagalan regulasi; 3) FSB menekan pentingnya kebijakan yang mampu mencegah munculnya risiko sistemik; dan 4) Adanya potensi peningkatan risiko pada perekonomian, seperti: financial innovations. Sedangkan dampak ke dalam (internal) seperti: 1) Peran Bank Indonesia dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK); 2) Perubahan signifikan atas struktur otoritas pengawasan lembaga keuangan di Indonesia (UU No. 21 tahun 2001 tentang OJK membawa perubahan atas tujuan dan tugas BI; dan 3) Pengalaman Indonesia dalam menghadapi krisis tahun 1997/1998. Jangan heran, jika kondisi sektor keuangan akan mempengaruhifluktuasi makroekonomi (bisa lihat garfiknya di bawah ini).
Grafik di atas menunjukan bahwa saat fluktuasi naik (ekspansi) timbul optimisme yang berlebihan, mendorong kredit yang berlebihan dan terjadi akumulasi risiko disektor keuangan. Tetapi di saat fluktuasi sedang menurun (kontraksi), maka timbul pesimime yang berlebihan, keengganan untuk menyalurkan kredit, dan muncul Risk Averse (menolak resiko).
Perlu dipahami, bahwa sistem keuangan memiliki fungsi-fungsi pokok, yaitu fungsi tabungan (saving function), fungsi kekayaan (wealth function), fungsi likuiditas (liquidity function), fungsi kredit (credit function), fungsi pembayaran (payment function), fungsi resiko (risk function), serta fungsi kebijakan (policy function). Selanjutnya, untuk mencapai stabilitas keuangan yang baik, diperlukan kerangka misi, tujuan, strategi dan instrumen yang bisa ditunjukan dalam gambar berikut.
Bangsa Indonesia mengharapkan perjalanan sistem keuangan yang stabil, agar mampu menstimulus aktivitas ekonomi seperti: investasi, penyaluran kredit, pengembangan dunia usaha, prospek bisnis dan perekonomian, dan sebagainya. Di sisi lain, kita tidak mengharapkan sistem keuangan berjalan penuh gejolak. Karena, hal yang akan terjadi adalah kemampuan pemberian pinjaman perbankan akan melemah. Pelemahan ini akan mengakibatkan aliran uang tersendat, sehingga aktivitas perekonomian masyarakat akan terganggu terutama pada sector-sektor dunia usaha yang memerlukan bantuan perbankan seperti UMKM. Terhambatnya sektor dunia usaha, tentu akan mengakibatkan prospek bisnis dan perekonomian menjadi kurang mendukung. Muara dari semua itu adalah pertumbuhan ekonomi yang lamban (Ryan Alief Putra, 2011). Dampak lain yang bisa timbul karena system keuangan yang tidak stabil adalah kondisi yang tidak menguntungkan, seperti: 1)Transmisi kebijakan moneter tidak berfungsi secara normal sehingga kebijakan moneter menjadi tidak efektif; 2) Fungsi intermediasi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya akibat alokasi dana yang tidak tepat sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi; 3) Ketidakpercayaan publik terhadap sistem keuangan yang umumnya akan diikuti dengan perilaku panik para investor untuk menarik dananya sehingga mendorong terjadinya kesulitan likuiditas; dan 4) Sangat tingginya biaya penyelamatan terhadap sistem keuangan apabila terjadi krisis yang bersifat sistemik (www.bi.go.id).
Oleh sebab itu, kita berharap agar sistem keuangan berjalan stabil dan tangguh. Diperlukan monitoring terhadap gejala-gejala yang dapat menimbulkan potensi krisis dari dua (2) risiko, yaitu 1) risiko endogen yang berada di dalam sektor keuangan itu sendiri seperti dari perbankan seperti risiko kredit, risiko pasar dan risiko operasional; dan 2) risiko eksogen yang timbul di luar sektor keuangan, seperti gangguan karena ekonomi makro atau risiko kejadian seperti adanya bencana alam (Wartawan3, 2014). Tindakan yang perlu dilakukan oleh Pemerintah untuk menanggulangi dari gangguan di sektor keuangan adalah menjaga ketangguhanStabilitas Sistem Keuangan (SSK). Jangan lupa, bahwa Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) dipengaruhi oleh ketangguhan kondisi stabilitas moneter. Karena Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) dan Stabilitas Moneter bagai dua sisi mata uang. Namun, ada perbedaan mendasar di antara keduanya, yaitu: terletak pada definisi, instrumen pengontrol, struktur proyeksi, dan alat proyeksi. Sedangkan hubungan antara Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) dan Stabilitas Moneter dapat digambarkan pada gambar berikut.
Gambar tersebut menunjukan bahwa Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) dipengaruhi oleh kondisi Stabilitas Moneter untuk menciptakan kondisi ekonomi makro yang baik. Kondisi moneter juga dipengaruhi oleh kondisi inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB). Dari kondisi ekonomi makro pun akan menimbulkan dampak kondisi keunagan, seperti kondisi perbankan nasional yang selanjutnya akan berdampak pada kondisi Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yang sehat.
Banyak orang awam yang masih belum mengetahui tentang Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Sebenarnya Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) belum memperoleh definisi baku baku secara internasional. Tetapi, muncul beberapa definisi mengenai Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yang pada intinya mengatakan bahwa suatu sistem keuangan memasuki tahap tidak stabil pada saat sistem dan telah membahayakan dan menghambat kegiatan ekonomi (Financeroll.co.id, 2013). Menurut pendapat European Central Bank (2011) mengatakan, “…suatu kondisi dimana sistem keuangan yang terdiri dari lembaga intermediasi, pasar keuangan dan infrastruktur pasar, tahan terhadap tekanan dan mampu mengatasi ketidakseimbangan keuangan yang bersumber dari proses intermediasi yang mengalami gangguan secara signifikan”. Sedangkan menurut Bank of England(2008), menyatakan, “…suatu kondisi terpeliharanya kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan”. Lain halnya dengan laman www.bi.go.id, yang menyatakan:
“Arti stabilitas sistem keuangan dapat dipahami dengan melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan instabilitas di sektor keuangan. Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab dan gejolak. Hal ini umumnya merupakan kombinasi antara kegagalan pasar, baik karena faktor struktural maupun perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat bersumber dari eksternal (internasional) dan internal (domestik). Risiko yang sering menyertai kegiatan dalam sistem keuangan antara lain risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar dan risiko operasional”.
Oleh sebab itu, Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) sangat penting bagi sistem perekonomian kita, agar: 1) Kestabilan sistem keuangan akan membentuk pasar yang sehat, terkontrol dan alokasi dari berbagai sumber daya yang ada dapat dikondisikan secara optimal; 2) Kestabilan sistem keuangan berdampak langsung dengan kesehatan dunia perbankan, dengan sistem keuangan yang stabil dunia perbankan dapat menjalankan fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat secara maksimal, tentu hal ini juga akan mempengaruhi sektor riil; 3) Dengan stabilnya sistem keuangan akan mempengaruhi perputaran jumlah uang beredar di masyarakat karena sistem keuangan berjalan dengan baik, sehingga inflasi pun dapat dikendalikan; 4) Biaya dari instabilitas sistem keuangan dapat ditekan karena pengaruh dari instabilitas tersebut menyerang langsung sektor keuangan yang mempunyai biaya restrukturisasi yang tidak murah, seperti sektor perbankan; dan 5) Instabilitas sistem keuangan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap terjadinya krisis moneter, sehingga diperlukan upaya yang maksimal dalam menjaga stabilitas sistem keuangan (Rishan Adha, 2011). Apalagi, Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) memberikan pengaruh langsung terhadap stabilitas makro dalam sebuah sistem perekonomian begitu pun sebaliknya. Saat stabilitas makro bergejolak stabilitas keuangan pun akan mendapatkan dampaknya.
Menciptakan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) merupakan tugas Pemerintah, yang diserahkan kepada Bank Indonesia. Patut dipelajari, bahwa Bank Indonesia mempunyai lima (5) peran utama yang mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) adalah: 1) Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter, seperti melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang. Kebijakan moneter melalui penerapan suku bunga yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi dan sebaliknya. Oleh karena itu, Bank Indonesia menerapkan suatu kebijakan yang disebut Inflation Targeting Framework (ITF); 2) Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi; 3) Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik; 4) Bank Indonesia melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan; dan 5) Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR) yang mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi LoLR sebagai peran tradisional Bank Indonesia (bank sentral) dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan (www.bi.go.id).
Untuk menciptakan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yang stabil dan sehat, perlu didukung oleh beberapa faktor, yaitu: 1) lingkungan ekonomi makro yang stabil; 2) lembaga keuangan yang dikelola dengan baik; 3) pengawasan institusi keuangan yang efektif; dan 4) sistem pembayaran yang aman dan handal (Wartawan3, 2014). Kita bisa melihatnya di gambar berikut.
Oleh sebab itu, kita perlu menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Hal ini dikarenakan: 1) Fungsi Sistem Keuangan sangat vital (“Udara” bagi perekonomian,Intermediary roles, Transmisi kebijakan moneter, Pengelolaan asset (wealth management), Sumber pembiayaan bagi sektor riil, dan Sistem pembayaran dan setelmen); 2) Adanya potensi peningkatan resiko pada perekonomian; 3) Krisis di lembaga dan pasar keuangan berdampak signifikan terhadap perekonomian dan berbiaya besar; 4) Kegagalan kebijakan makro, kegagalan pasar, kegagalan regulasi; dan 5) Atas dasar krisis 2008, FSB menekankan bank sentral untuk melengkapi kebijakan macroeconomic dengan kebijakan macroprudential (Bagus Cahyo Jaya Pratama, 2014).
Bingkai kerja (Framework) Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) meliputi Misi Bank Indonesia (BI), Tujuan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK), Strategi Stabilitas Sistem Keuangan (SSK), dan instrumen yang berhubungan.
Kita berharap Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) bisa berjalan dengan baik.Oleh karena itu, berbagai pihak yang berkompeten harus mengemban tanggung jawab yang baik. Mengapa? Hal ini dikarenakan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) merupakan kebijakan publik (Crockett, 1997 dalam Wartawan3, 2014). Sedangkan, pihak-pihak yang terkait adalah: 1) Otoritas keuangan (pemerintah, bank sentral, lembaga penjamin simpanan, dan lin-lain); 2) Pelaku keuangan (bank, pasar modal, lembaga keuangan non bank); dan 3) Publik, khususnya pengguna jasa keuangan. Dari salah satu pihak tersebut, yang paling mendominasi dalam mengeluarkan kebijakan dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) adalahBank Indonesia (BI) yang akan selalu memberikan strategi monitoring Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) dan solusi bila terjadi krisis.
Strategi tersebut mencakup koordinasi dan kerjasama, pemantauan, pencegahan krisis dan manajemen krisis. Bank Indonesia bekerja sama dengan instansi terkait lainnya, seperti dalam pengelolaan informasi dan efektivitas kebijakan dalam stabilisasi sistem keuangan, maka perlu adanya koordinasi antara lembaga tersebut. Pemantauan terhadap stabilitas keuangan penting dilakukan untuk mampu mengukur tekanan risiko yang akan timbul, khususnya gangguan yang bersifat sistemik atau dapat menciptakan krisis. Sedangkan dalam pencegahan krisis berisi prosedur penyelesaian krisis dan kejelasan peran serta tanggung jawab dari masing-masing institusi yang terlibat didalamnya yang dilakukan dengan cara mencegah ketidakstabilan dalam sistem keuangan (www.bi.go.id). Dengan demikian, Bank Indonesia melakukan semaksimal mungkin untuk menciptakan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yang sehat. Tetapi, dalam pelaksanaannya dibutuhkan 12 standar utama, agar pelaksanaan sistem Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) berjalan sesuai apa yang diharapkan.
Peranan Bank Indonesia (BI) dalam Stabilitas Sistem Keuangan (SSK)
Setelah dibahas sebelumnya, bahwa Stabilitas Sistem Keuangan (SSK)dipengaruhi oleh kebijakan moneter yang merupakan tindakan pemerintah (atau bank sentral) untuk mempengaruhi situasi makro yang dilaksanakan melalui pasar uang atau sebagai tindakan makro pemerintah dengan cara mempengaruhi proses penciptaan uang yang indikatornya adalah: 1) Dalam merumuskan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan selalu melakukan analisis dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi, khususnya prakiraan inflasi, pertumbuhan ekonomi, besaran-besaran moneter dan perkembangan sektor ekonomi dan keuangan secara keseluruhan; 2) Bank Indonesia akan selalu dan terus memperhatikan langkah-langkah kebijakan ekonomi yang ditempuh Pemerintah. Langkah-langkah koordinasi kebijakan yang selama ini telah berlangsung baik akan terus diperkuat dan ditingkatkan; dan 3) Analisis dan prakiraan berbagai variabel ekonomi tersebut dipertimbangkan untuk mengarahkan agar prakiraan inflasi ke depan sejalan dengan kisaran sasaran inflasi yang telah ditetapkan (Financeroll.co.id, 2013).
Dengan menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK), berarti menjaga kestabilan nilai rupiah agar tidak menimbulkan inflasi. Karena, kestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat inflasi dan nilai tukar yang terjadi, serta naiknya harga barang-barang secara umum. Perlu diketahui, bahwa inflasi merupakan salah satu masalah ekonomi yang banyak mendapatkan perhatian para ahli ekonomi. Mengapa kita harus menjaga tingkat inflasi? Menjaga tingkat inflasi berdasarkan pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat, seperti: 1) inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin; dan 2) inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan. Salah satu cara menjaga kestabilan nilai rupiah dalam kapasitas Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah dengan mengeluarkan Kebijakan Makroprudensial. Dengan demikian menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) dalam Kebijakan Makroprudensial merupakan tugas Bank Indonesia yang bertindak sebagai bank sentral. Alur tugas Bank Indonesia dalam mengeluarkan Kebijakan Makroprudensial dalam menciptakan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) bisa ditunjukan dlam gambar di bawah ini.
Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 pasal 7, tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Amanat ini memberikan kejelasan peran bank sentral dalam perekonomian, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya lebih fokus dalam pencapaian “single objective”-nya (Financeroll.co.id, 2013). Apalagi, arah kebijakan Bank Indonesia pada tahun 2014 tetap difokuskan untuk menjaga stabilitas perekonomian dan sistem keuangan melalui penguatan bauran kebijakan di bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran. Sedangkan di bidang makroprudensial, arah kebijakan BI diarahkan untuk memitigasi risiko sistemik di sektor keuangan serta pengendalian kredit dan likuiditas agar sejalan dengan pengelolaan stabilitas makroekonomi (Sindo Trijaya, 2014).
Menurut UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, masalah pengawasan bank yang semula didasarkan pada pola pendekatan pengawasan institusionaldiubah menjadi pola pendekatan pengawasan fungsional. Oleh sebab itu, sesuai Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia mengamanatkan perlu adanya pemisahan fungsi otoritas moneter dan sistem pembayaran di satu sisi dengan fungsi pengawasan dan pembinaan bank di sisi lainnya. Dengan demikian, Bank Indonesia selaku hanya akan menjalankan otoritas dibidang kebijakan moneter dan sistem pembayaran, sedangkan otoritas di bidang pengawasan dan pembinaan bank akan dilakukan oleh sebuah lembaga independen, yaitu: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai dengan UU RI No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (Dwi Wulan Ramadani, & Dedi Rahman, 2013). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjalankan tugas pokok dan fungsi guna menjamin Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) agar tetap dapat terjaga guna mencapai tujuan mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara sehat, sustainable, dan stabil.
Sesuai amanat Undang-undang (UU) No. 21 tahun 2011 tentang OJK, terhitung sejak 31 Desember 2013, fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia, telah dialihkan kepada OJK (Gatti, 2014). Dengan demikian, tugas pengawasan perbankan berpindah dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per 31 Desember 2013 yang mencakup: 1) mengatur dan mengawasi sektor pasar modal; 2) mengatur dan mengawasi sektor industri keuangan; dan 3) mengatur dan mengawasi sektor perbankan (Jogo Hera, 2014). Sedangkan, sepuluh (10) sasaran strategis OJK meliputi: 1) terwujudnya Sektor Jasa Keuangan (SJK) yang tangguh, kontributif, dan inklusif; menjaga sistem keuangan yang stabil dan berkelanjutan, dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat; 2) meningkatkan pengaturan SJK yang selaras dan terintegrasi; 3) mengembangkan SJK yang stabil dan berkelanjutan; 4) mengoptimalkan pengawasan SJK yang terintegrasi dan terkoordinasi secara efektif; 5) mengoptimalkan edukasi dan perlindungan konsumen; 6) meningkatkan surveillancesistem keuangan dan koordinasi secara efektif; 7) meningkatkan tata kelola yang efektif; 8) mengoptimalkan pengelolaan keuangan yang akuntabel; 9) meningkatkan organisasi yang efisien dan efektif didukung SDM yang professional; dan 10) mengembangkan sistem informasi dan sarana prasarana yang memadai (Wartawan3, 2014).
Kebijakan makroprudensial dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk meningkatkan ketahanan sistem keuangan dan mencegah serta mengurangi risiko sistemik yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi di sektor keuangan dan moneter. Oleh sebab itu, keluarnya kebijakan makroprudensial pun mendapat pengawasan dari Bank Indonesia. Pengawasan tersebut dilakukan untuk mewujudkan sistem keuangan yang stabil dan berkualitas. Agar semakin optimal, upaya mencapai kestabilan sistem keuangan tersebut dikoordinasikan oleh Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang beranggotakan Departemen Keuangan RI, Lembaga Penjamin Simpanan, Bank Indonesia dan OJK (Jogo Hera, 2014). Di luar itu, Pemerintah juga membentuk lembaga lain bernama Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kehadiran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga berkontribusi aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. Tugas LPS adalah melaksanakan penjaminan simpanan, melaksanakan penyelamatan bank gagal sistemik dan melaksanakan penyelesaian bank gagal non-sistemik. Sesuai denganUndang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS sebagaimana diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2009, LPS memiliki fungsi: 1) sebagai lembaga penjamin simpanan; dan 2) sebagai lembaga yang ikut serta menjaga stabilitas keuangan Negara (Hukumonline.com, 2012).
sumber: http://ekonomi.kompasiana.com
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment